Budaya Literasi yang Dilompati ; Siapkah Kita Berdigitalisasi?

 

(Ilustrasi: https://www.nesabamedia.com/pengertian-literasi/)


Oleh : Achmad Komaruddin*

Achqomaruddin79@gmail.com

Akhir akhir ini, dunia seperti tak ubahnya dalam satu genggaman tangan. Bagaimana tidak? Gadget atau smarphone menjadi alat dimana manusia bisa berkomunikasi, bertukar ide, mengakses informasi dan seabrek fasilitas lainnya hanya dengan “satu klik”. Tentu, hal ini sangat memudahkan mereka untuk memenuhi kebutuhan informasi, update wawasan dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, banyak dari mereka yang kurang pandai memanfaatkan fasiltas tersebut. Mereka justru tidak bisa memilah dan memilih dimana hal hal yang penting untuk diakses, ditonton, dibaca dan disebarkan. Oleh karena itu, dibutuhkan literasi digital untuk mengatasi hal hal tersebut, yakni kemampuan untuk menggunakan jejaring internet dengan bijak, sehat, benar dan tepat guna.  

Dalam buku “Peran Literasi Digital di Masa Pandemik” (2021) karya Devri Suherdi, literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya. Seseorang yang mampu untuk menggunakan digital dengan sebaik-baiknya dengan menelaah dan mengkaji ulang disebut dengan literate. Sehingga literasi singkatnya adalah kemampuan membaca, menulis dan mempelajari sesuatu. adalah Namun dalam praktiknya, banyak masyarakat yang masih mengkonsumsi dan bahkan terpengaruh informasi hoax lewat media, yang pada akhir-akhir ini mulai merobek-robek kode etiknya. Mereka menelan mentah-mentah informasi  tanpa menelaah dan berupaya mencari informasi yang sebenarnya. Mereka seakan polos seperti anak kecil yang dengan mudah dipengaruhi tanpa meng-aktifkan daya nalar kritisnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini telah melompati budaya menelaah dan membaca kepada budaya teknologi dengan medianya. Pada akhirnya teknologi mampu memperdaya siapapun yang memakainya. 

Jika kita melihat fakta di Jepang, telah tercatat bahwa masyarakat disana telah mengalami budaya membaca dalam kurun waktu yang cukup lama. Membaca, bagi mereka adalah sebuah keharusan. Di tempat-tempat umum, di kereta, terminal, depan kelas, mereka terbiasa memegang buku bacaan. Hebatnya, mereka tidak merasa “minder” saat menuntaskan sebuah buku bacaan. Dengan budaya membaca yang cukup lama, mereka akhirnya mulai terjun pada budaya teknologi. Sebuah kesinambungan yang patut ditiru, dari budaya membaca (literasi) pada teknologi. 

Namun fakta berbeda terjadi di Indonesia. Indonesia memasuki era digital dengan melompati budaya literasi. Budaya membaca di Indonesia tidak mengalami waktu yang cukup lama dan mengakar pasca kolonialisasi. Di berbagai tempat, kesadaran membaca masih belum menjadi kesadaran yang kuat, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, lebih - lebih di jejaring internet. Contoh kecil, seorang netizen yang masih bertanya harga di komentar jual beli di salah platform media sosial kepada penjual. Padahal penjual telah menulis harga barang yang dijualnya. Atau anak anak muda yang nongkrong dan main bareng (mabar) di café, namun mereka hanya menggunakan HP mereka untuk game online, slot dan lain sebagainya. Padahal adanya teknologi itu sebenarnya untuk mempermudah kita untuk mengakses dan mencari informasi, ilmu pengetahuan dan lain lain. Adanya kecanggihan telpon pintar adalah untuk mencari bahan bacaan bagi pelajar, mencari tambahan materi ajar bagi guru, mempermudah berjualan bagi pedagang dan lain sebagainya. Atau seseorang yang tanpa menelaah terlebih dahulu informasi yang diperoleh dari media social, lalu langsung disebarkan dan dibagikan kepada orang lain. Akibatnya muncullah isu atau kabar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan asal usulnya. Hal ini adalah gambaran betapa kita sebenarnya telah melompati budaya literasi kepada teknologi. 

Sebenarnya, kesadaran literasi bukanlah hal yang asing bagi bangsa ini. Sejak dulu kala, bangsa ini telah dikenal sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia karena adanya kemajuan budaya baca-tulis yang berada di bawah kerajaan Majapahit. Sebut saja, Kakawin Sutasoma. Kitab ini menggambarkan tentang pentingnya toleransi beragama di Nusantara. Di dalam kitab ini terdapat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga kini. Adalah betul, bahwa sebetulnya bangsa telah mengalami budaya literasi yang tinggi. Semangat baca dan tulis telah banyak melahirkan karya yang masterpiece dan dikenal dunia pada saat itu. Sebut saja gamelan. Alat musik terbuat dari tembaga yang diolah dengan ilmu pertambangan sedemikian canggihnya. Bayangkan saja, pada zaman itu saja nenek moyang kita telah bisa mengolah bahan mentah (tembaga) menjadi bahan jadi yang siap dipakai (gamelan). Padahal saat itu, orang orang Eropa bisa membuat alat musik terkenal, yaitu gitar yang terbuat dari kayu dan tali. Kemudian, Saudi Arabia, mereka membuat terbang dengan bahan baku kayu dan kulit sapi. Namun di Nusantara sudah terdapat ilmu pertambangan. Luar biasa bukan? Namun, kejayaan itu dihapus oleh penjajahan Belanda, dimana mereka menggunakan metode perang Romawi, yakni ketika menjajah suatu bangsa, maka rakyatnya dijadikan bodoh. Yang boleh sekolah hanya orang – orang ningrat dan priayi. Selama 350 tahun kita dijadikan bodoh hingga lupa terhadap kejayaan bangsa Indonesia di masa lalu. 

Oleh karena itu, generasi mudah ayo berliterasi di era digital ini. Silahkan berdigital tapi tetap literate, silahkan berliterasi namun melek digital. Literasi adalah kemampuan dalam memanfaatkan digital. Digitalisasi adalah kemampuan mengoperasikan internet / jejaring sosial dengan baik. Tentu, Iman dan Taqwa (IMTAQ) serta kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah dua kunci agar benar dan bijak dalam bersosial media. Ayo cerdas berinternet! Wallohu A’lam. 

*Dosen Tetap IAIMU Pamekasan dan Sekretaris Yayasan Al-Miftah Panyeppen

Post a Comment

0 Comments